Minggu, 18 Mei 2014

Nilai Tambah Pandan Pohkumbang Dinikmati Orang Luar

Sekitar 70 persen warga Desa Pohkumbang Kecamatan Karanganyar Kebumen memiliki aktivitas sebagai penganyam kerajinan pandan. Namun nilai tambah dari hasil kerajinan itu dinikmati oleh orang luar desa.
Sebab, warga di sana hanya menganyam complong, bahan anyaman setengah jadi yang nantinya akan diproses menjadi tas, sandal, kotak-kota souvenir, dan beragam cindera mata lain yang sebagian besar diekspor oleh penguasaha yang ada di Jogajakarta atau Tasikmalaya.
Mengapa bukan warga Pohkumbang sendiri yang memproduksi kerajinan siap ekspor? Pertanyaan itu yang kemudian hendak dijawab oleh program PLPBK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas) dari PNPM Mandiri Perkotaan.
Tahun 2014 ini tiga desa di Karanganyar, Pohkumbang, Grenggeng, dan Giripurno memperoleh alokasi dana PLPBK masing-masing Rp 1 miliar. Fokus peruntukkan jelas agar ada penataan lingkungan permukiman yang bisa mengatasi masalah kemiskinan dengan penggarapan di bidang sarpras lingkungan fisik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan sosial.
Keterpaduan program menjadi spirit.
Bagaimana langkah mencapai Pohkumbang yang mandiri dan sejahtera?

 Dalam dua-tiga tahun ke depan mungkin baru bisa dirasakan bedanya. (Kholid Anwar)
Kini warga sedang bersiap melaksanakan program tersebut.

Kamis, 01 Mei 2014

Berita 'Mbulet' Urutsewu, DPRD Mati Kutu?

Pemberitaan konflik Urutsewu yang belakangan mendominasi perdebatan di jaringan media sosial tampaknya makin tambah "mbulet". Ini menyusul pemberitaan di Suara Merdeka yang akan menggugat pemberitaan Jaringnews.com. Pada pemberitaan yang sudah tersebar luas itu wartawan Suara Merdeka dituduh menerima bayaran dari pemberitaan isu "dana wuwur Rp 9 miliar".
Teman-teman aktivis gerakan pembelaan rakyat Urutsewu merasa "dibunuh" dengan pemberitaan tersebut. Namun kemudian, pihak Suara Merdeka yang merasa sudah menyajikan berita sesuai standar profesi jurnalistik, telah melakukan konfirmasi kepada Kapolres segala, merasa tak ada yang salah dengan berita tersebut.
Justru belakangan, berita di Jaringnews.com yang dianggap fitnah, karena menghakimi wartawan Suara Merdeka seolah sudah dibayar oleh tentara dan penguasa untuk menulis berita yang merugikan kepentingan gerakan warga Urutsewu dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah.
Dalam koflik yang berkepanjangan seperti itu, semestinya DPRD Kebumen yang meskipun usianya hanya tinggal beberapa hari, bisa tanggap. Jangan malah mati kutu, seolah bukan lagi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan.  Ada konflik antara rakyat dengan jajaran media massa. Jika tidak segera difasilitasi oleh wakil rakyat, tentu tidak mungkin pengadilan mengambil alih konflik seperti itu. Pendekatan legalistik selalu mbulet untuk menyelesaikan konflik multidimensi semacam konflik Urutsewu. Ada TNI, ada investor pasir besi, ada petani, ada buruh tani, ada komprador yang ingin mengail di air keruh, ada tokoh agama yang ingin menikmati hasil konflik, ada juga pejabat yang berkepentingan untuk meraih target di bulan April 2015 lewat pemilihan bupati.
Pertanyaannya sekarang, beranikah DPRD mengambil inisiatif untuk mengundang semua pihak yang terkait dengan permasalahan di Urutsewu, khsusnya yang meyangkut keterlibatan "oknum" wartawan yang berkonflik dengan masyarakat. Masalahnya, wartawan yang mestinya bisa menjadi mediator dalam konflik sosial, dalam kasus Urutsewu ini justru berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan rakyat. Turunnya kepercayaan rakyat terhadap media akan menjadi alarm tersendiri bagi proses demokratisasi yang sedang berjalan. (Kholid Anwar)

Sabtu, 19 April 2014

Tragedi "Wuwur Rp 9 M" di Urut Sewu

Terus terang saya belum tahu persis apa, siapa, bagaimana, mengapa, dan kapan berita di Suara Merdeka tentang "Gerakan Didanai Rp 9 M" itu menjadi begitu menghebohkan. Pro dan kontra di jejaring sosial, terutama dari aktivis gerakan yang selama ini berjuang membela kepentingan petani di kawasan Urut Sewu, lebih menyiratkan kegeraman. Berita itu dinilai tanpa akhlak jurnalistik.
Sedikit mencermatinya, memang itu sekadar memberitakan isu yang dikonfirmasikan kepada Kapolres Kebumen, pihak yang berkompeten mengklarifikasi sebuah informasi yang meresahkan masyarakat benar atau tidak.
Jika sudah ada penegasan bahwa isu penggelontoran dana Rp 9 M untuk membiayai gerakan di Urut Sewu memang dinyatakan tidak benar, moral jurnalis sewajarnya juga mempertegas; bahwa ada pihak-pihak yang hendak mengadu domba masyarakat Urut Sewu dengan isu penggelontoran dana Rp 9 miliar.
Sebenarnya, di jajaran teman-teman jurnalis Kebumen sejak era Orba hingga era feformasi sekarang sudah paham betul latar belakang di setiap isu menyangkut Urut Sewu. Tiap gerakan rakyat yang menuntut hak penguasaan tanah di sana selalu disangkutkan dengan gerakan PKI, dibiayai oleh LSM Asing, dan anti-NKRI. Apalagi setelah meletus tragedi Setrojenar yang berlabel "Bentrok Rakyat vs TNI". Isu yang terus dibangun oleh militer terasa sekali untuk memberikan justifikasi; "bahwa PKI baru terus bergerak, pihak asing mendanai gerakan itu Rp 9 miliar".
Saya tidak yakin wartawan yang menulis berita itu dibayar oleh tentara dan penguasa, seperti banyak dituduhkan para aktivis di jejaring sosial. Rasanya, dia sekadar diperalat. Modusnya, biasanya menggunakan narasumber dari jajaran intelejen memberikan informasi yang seolah akurat. Standar pemberitaan tentu harus ada konfirmasi. Maka pihak paling berkompeten untuk menilai akurasi data "Rp 9 miliar" itu adalah Kapolres Kebumen yang memiliki kaki tangan intelejen dan reserse. Menurut Kapolres, informasi seperti itu hanyalah isu.
Kesan yang ditimbulkan memang muncul informasi yang tersembunyi. Opini bisa terbangun. Meskipun Kapolres mengatakan itu hanyalah isu, tapi nalar publik digiring. Seperti halnya praktik politik uang atau wuwuran dalam pileg sekarang. Praktiknya nyata-nyata ada. Tapi polisi tidak pernah bisa menangkap pelakunya, meskipun sudah ada laporan dan Bawaslu.
Publik telanjur percaya, bahwa isu wuwuran, termasuk isu tentang "wuwur Rp 9 M" di Urut Sewu, akan lebih banyak orang yang percaya hal itu benar. Inilah tragedi dalam dunia jurnalistik di Kebumen. Wartawan benar telah konfimasi dari sumber yang berkompeten. Tulisan itu menegaskan, dana Rp 9 miliar untuk membiayai gerakan Urut Sewu hanyalah isu. Namun, opini bisa tergiring bahwa ada penggelontoran dana Rp 9 miliar untuk perhelatan "adu domba" rakyat dengan rakyat, dan TNI berada di dalamnya bersama investor pasir besi. Runyam kan jadinya? Itulah tragedi wuwur yang benar atau tidak ada dana sebanyak itu telah mampu membuyarkan konsentrasi gerakan rakyat yang terus berjuang memperoleh hak penguasaan atas tanah pertaniannya. (Kholid Anwar)

Rabu, 02 April 2014

Ratih TV, dari Anak Emas Jadi Anak Pungut.

Jebul ya angel lho benah-benah Ratih TV. Kadung mula bukane dadi televisi anak emas. Lha kok sikine dadi anak pungut. Karepe ya didol bae. Ning ndilalah, statuse wis ningkat dadi Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Televisi. Nek arep diswastakan ya ora olih nang undang-undang.
Kepriye maning, wong anane pancan kaya kuwe.
Mekiki daya pancare mung 1400 watt, nang kota Kebumen bae ora nangkep jelas. Bareng diotak-atik teknisine, dimodali kurang luwih Rp 5 juta, eh wis lumayan bisa ningkat dadi 2000 watt. Nang Kutowinangun bisa nangkep, senajan gambare isih kepyur pada karo gambare TVRI Jawa Tengah. Jare teknisine, tesih ana pemancar maning sing bisa ditambahna men dadi 4000 watt. Ning ya kuwe kudu ditukokna combiner, regane kurang luwih Rp 10 juta. Merga nang anggarane durung ditulis, ya mengko lah sing sabar disit, nunggu perubahan APBD disetujoni DPRD. Nek arep igah iguh anggaran, direkture ya ora wani.
Mengkono uga nggo ningkatna mutu siaran lan nambah jam tayang. Ujarkua sih tanggal 1 April 2014 wis bisa siaran 7 jam, wiwit jam 13.00 ngasi jam 20.00 men mandan patut minangka LPPL Televisi. Jebal-jebul ya ora gampang nyusun ingsine tayangan. Nek mung diisi rekaman lagu-lagu campur sari apa dene video klip sih ya gampang. Ning ya mboseni lah, terus penontone ya mlayu dhewek-dhewek.
Arep ngisi acara Berita Kebumen sing luwih "nyokot" bae ya isih angel koh. Jajal disimak. Saben-saben beritane dibukak nganggo ukara klasik; "Bupati Kebumen membuka acara......".
Utawane, "Wakil Bupati Kebumen menghadiri acara.......". Miturut ilmu jurnalistik, informasi kaya kuwe ora ngemu nilai berita utawa "news value". Dadine ya kurang pas nek diarani siaran berita.
Ya, puluh-puluh, sanga tambah siji. Karepe monoa LPPL televisi kudu bisa "isi siaran tetap berorientasi pada kepentingan publik". Para sedulur maklum sit lah ya, ketone pegelola agi golet wangsit nggo mbenahi manajemen LPPL Ratih TV Kebumen. Dongakna bae ya men tetep lancar memancar, mbagi kabar nggo Kebumen sing luwih moncer. (Kholid Anwar)

Rabu, 26 Maret 2014

Lulus Takwa, Paradoks Perda Pembelajaran Baca Tulis Al Quran.



Perda pembelajararan baca tulis Al Quran yang diinisiasi oleh DPRD Kebumen tampak sekali mengandung sejumlah paradoks. Secara garis besar, pertimbangan dibuatnya rancangan perda hanya didasari penafsiran sempit pasal 18 UUD 1945 ayat (6); Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Logika praktisnya, untuk melaksanakan otonomi daerah berhak menetapkan perda tentang apa saja.
Paradoks yang lebih memprihatinkan, tafsir terhadap Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut, “pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia.” Diksi tersebut secara paradoksal dimaknai untuk bisa mencapai tujuan pendidikan “mempersyaratkan pemahaman peserta didik terhadap isi kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa”.  
Dari dua hal yang paradoksal itu ditarik kesimpulan, “Al Quran sebagai kitab suci umat Islam perlu dipahamkan secara baik kepada para peserta didik yang beragama Islam melalui pembelajaran baca tulis Al Quran”.  Yaitu, “proses belajar mengajar yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan baik di lingkungan pendidikan formal, informal, dan nonformal untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik agar mampu baca tulis Al Quran”.
Masalah lalu lebih disederhanakan. Untuk membentuk manusia beriman dan bertakwa sesuai tujuan undang-undang, maka Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pemenuhan dan/atau peningkatan jumlah dan kualifikasi tenaga pengajar pada satuan pendidikan dasar (pasal 11). Anehnya, untuk menentukan kualifikasi tenaga pengajar, diatur oleh Bupati berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 12).  Ini konyol, karena pasti Bupati tak akan bisa menemukan peraturan perundang-undangan tentang kualifikasi tenaga pengajar baca tulis Al Quran.
Kekonyolan pikir berikutnya, Pemerintah Daerah selaku kelembagaan negara bertanggung jawab dan menjadi penentu ukuran seorang peserta didik “lulus takwa” dengan memberikan sertifikat. Bahkan sertifikat itu dijadikan syarat untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang berikutnya (pasal 27). Sertifikasi itu memiliki konsekuensi hukum pidana. “Setiap orang yang memalsukan sertifikat baca tulis Al Quran sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (3) dan pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)” (pasal 38).
Tampak jelas dalam (rancangan) perda tersebut, ukuran ketakwaan peserta didik yang berhak memperoleh sertifikat adalah yang telah menguasai materi pembelajaran baca tulis Al Quran. Yakni meliputi pengenalan membaca, menulis, menghafal, dan menterjemahkan Al Quran serta pemahaman terhadap kandungan Al Quran (pasal 15). Menjadi peraturan yang konyol jika disadari bahwa kemampuan menterjemahkan serta memahami kandungan Al Quran bagi anak SD dan SMP hanya dikuantifikasi dalam sertifikat yang ditanda tangani Kepala Dinas dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten (pasal 24).
Secara keseluruhan (rancangan) perda tersebut bertentangan dengan substansi pasal 28E Undang-undang Dasar 1945 ayat (1); “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,....” serta ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Sertifikasi oleh negara (pemkab) atas kemampuan memahami kandungan Al Quran adalah bentuk pemaksaan terhadap peserta didik dalam memeluk agama Islam. Padahal dalam Al Quran sendiri ditegaskan, tidak ada pemaksaan dalam beragama. Jadi perda itu bukan hanya bertentangan dengan UUD 1945 tapi juga bertentangan dengan Al Quran itu sendiri. Karena memeluk agama dan beribadat (memahami kandungan Al Quran) itu adalah hak dan bukan kewajiban warga negara. (Kholid Anwar)

Rabu, 26 Februari 2014

Para Caleg dan Pemimpin Mengidap Autis Sosial?

Share dengan Bude Sri Murni, ibunda Faisal pengidap autis, baru-baru ini di Komunitas Difa, timur Mapolres Kebumen, beroleh banyak inspirasi sekaligus harus menguatkan keyakinan; hanya cinta kasih yang tulus yang bisa membimbing anak berkubutuhan khusus penyandang autis agar bisa berperilaku normal. Kisah Bude yang telah berhasil membimbing anak keduanya yang autis sampai mampu menghafal Al Qur'an 6 juz telah menguras air mata ribuan pembaca dua buku tulisan Sri Murni, "Faisal Sayang Mama Sampai Tua (2010) dan "Kereta Surga (2013".
Malam itu Sri Murni berbincang dengan komunitas Difa yang dikoordinasikan oleh Mu'inatul Khoiriyah, istri pegiat sosial Akhmad Murtajid (Kang Tajib) di Musala Al Furqan Kembaran, Menurut Kang Tajib, masalah terberat membimbing anak difabel, bukan hanya autis, adalah lngkungan sosial yang selalu sulit mengerti. Apalagi anak autis, seperti Faisal yang memiliki IQ 58,  kesulitan terbesarnya saat harus mencari sekolah yang cocok dan bisa mendukung kebutuhannya mendapat perhatian penuh dari

pendamping.Anak autis sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan lebih banyak asyik dengan diri sendiri. Sri Murni telah mampu memahami apa yang dibutuhkan buah hatinya, dan berani megatakan "Insya Allah aku sing ngerti karepmu" sehingga Faisal berangsur tumbuh seperti anak normal dan kini bisa bersekolah hingga SMK dan mampu magang menjadi pegawai di stasiun kereta api.
Nah, bukannya para caleg sekarang juga sulit berkomunikasi dengan calon pemilihnya sehingga hanya asyik dengan diri sendiri? Mereka asyik berkomunikasi dengan pohon, gambar-gambarnya ditempel di pohon-pohon dan merasa sudah menjadi wakil rakyat setelah baliho besar terpasang di pinggir jalan? Setidaknya mereka memang mengidap autis sosial?
Ya, autis sosial tentu saja lebih sulit disembuhkan. Terapi apa yang pas untuk mereka? Bahkan bukan hanya caleg yang kini terkena autis sosial. "Kita yang sering SMS-an dan BB-an saat sedang kumpul-kumpul, itu juga terkena autis sosial," kata Kang Tajib. Jadi, kalau masyarakat sudah terkena autis sosial, masing-masing orang merasa pendapat sendiri yang benar, siapa yang harus menjadi Bude-bude lain seperti Sri Murni? Ah, tak mungkin lah itu terjawab. Apalagi jika pengelola negara ini sudah terkena autis sosial, harapannya tentu ada Ibu Negara yang punya samudera cinta dan kasih tak terbatas untuk membimbing anak-anak bangsa yang terkena autis agar mampu berperilaku layaknya anak bangsa yang normal. Jika ada pemimpin berani mengatakan "aku sing ngerti karepmu" kepada rakyatnya sepeti Sri Murni mengatakan kepada Faisal, tentu lah pemimpin itu terkena autis sosial. Itu pemimpin yang perlu bimbingan khusus. Insya Allah! (Kholid Anwar)

Kamis, 20 Februari 2014

Gawat, Gedung Baru RSUD Sudah Retak

Melihat bangunan gedung baru RSUD Kebumen rasanya sedih. Di bagian depan, timur tulisan besar INSTALASI GAWAT DARURAT, terlihat retakan yang dipoles dengan semen putih. Tentu retakan itu tetap tampak. Apakah ini memahayakan bangunan menjadi gawat atau tidak, jawaban pemborong tentu mengatakan tidak. Tapi kalau dari kacamata awam saja sudah bisa ditebak, pemborongnya tidak bekerja dengan baik.
Apalagi di bagian muka yang bisa terlihat langsung masyarakat, kondisi bangunan sudah tampak memprihatinkan. Kabel listrik terlihat "pating plandit". Harusnya kan tertata rapi. Lha wong bangunan modern kok seperti itu. Hayo, siapa berani melaporkan ke KPK kalau di sana ada indikasi korupsi? Faktanya, listrik di sana sejak sebulan lalu beroprasi belum bisa normal. Peralatan medis yang harus menggunakan stroom besar belum bisa optimal.
Jadi ketidak beresan itu baiknya didiamkan saja, atau sedikit dikritisi lah. Tapi kalau terlalu kritis nanti jawabnya ya klise; "Insya Allah aku sing ngerti karepmu!" Bosan ah...! (Kholid Anwar)

Sabtu, 15 Februari 2014

Kelud & Pasir Besi Jangan Paksa Petani Urutsewu Jadi Maling (Lagi)!

Nah, bingung kan mengaitkan dampak abu vulkanik Kelud dengan pasir besi dan pengaruh sosiologisnya bagi petani di urutsewu pantai selatan Kebumen yang kini sedang terancam matapecahariannya oleh rencana besar investor tambang pasir besi? Makanya jangan terlalu berpikir akademis! Dengar saja penuturan mantan kadus Lembupurwo Mirit, Suhadi, dan penggarap lahan berpasir besi Karjito.
Para petani di sana sudah berpenghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aneka tanaman palawija, seperti semangka, pepaya, jagung, cabe, terong, kacang tanah, kacang panjang, dan jenis sayuran lain bisa tumbuh subur. "Lahan setengah hektar dengan modal Rp 1 juta dalam satu musim tanam bisa menghasilkan Rp 5 juta," papar Karjito. Masalahnya, lahan yang mereka garap seperti itu bukan tanah hak milik, dan telah dipatok dengan stempel TNI AD. Rencana tambang pasir besi oleh investor dari Jakarta dikabarkan akan membongkar lahan subur itu menjadi kubangan yang tak bisa ditanami lagi dalam jangka 10 tahun. Para petani penggarap yang tidak memiliki tanah di wilayah utara tentu bakal kehilangan pencaharian.
Jika di era tahun 1980-an wilayah urutsewu, seperti Mirit dan Ambal dikenal banyak maling, menurut Karjito karena memang tanah berpasir di sana belum bisa ditanami seperti sekarang. Sebagian warga tak punya pencaharian. Maka tak ada cara selain jadi maling sekadar untuk makan. Jika saja tambang pasir besi nantinya benar-benar membongkar lahan pertanian itu, sama saja memaksa petani untuk jadi maling lagi karena lahan pertanian sebagai sumber pencaharian mereka hilang.
Apalagi jika kondisi hasil pertanian buruk, bahkan gagal panen terkena hama atau terkena abu vulkanik Gunung Kelud, dampak sosial bagi ekonomi petani di urutsewu akan lebih parah. 
Maka tak ada daya apa pun untuk terhindar dari dampak bencana selain berdoa. Semoga Allah memberikan pertolongan, mengucurkan hujan berkah membersihkan abu vulkanik Kelud dari tanaman pertanian. Lebih dari itu, semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada investor tambang pasir besi untuk membatalkan niatnya merusak lingkungan urutsewu agar warga petani di sana tetap sehat selamat dan aman dari musibah apa pun. Amin ya rabbal 'alamin! (Kholid Anwar)

Jumat, 07 Februari 2014

Milih Kanca Lawas Nyaleg Hukume Wajib?

Apa enggane nek ana kanca lawas nyaleg, hukume wajib milih deweke ya? Kuwe pitakonan nang njero ati. Gara-garane ya pas Setu esuk 8 Februari 2014, Pak Doktor H Bambang Sadono SH MH ujug-ujug rawuh nang Ratih TV Kebumen, ngisi acara Dialog Khusus jam 7-8. Direksi Ratih TV awale ya mandan mangu-mangu mbok menawane disalahna. Maklum, Pak BS kuwe politisi Partai Golkar sing sikine dadi Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah.
Kebener siki uga agi nyalon maning dadi anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Aja-aja Ratih TV nggo kampanye!
     Lha wong inyong anu dasare dicatet dadi anggota Dewan Pengawas LPPL Ratih TV, ya kudu melu tanggung jawab nggo memastikan isi siaran tetap berorientasi pada kepentingan publik. Mangkane tema dialog kudu netepi relevansi lan jumbuh karo kapasitas narasumber. "Penguatan Kapasitas LPPL sebagai Media Pendidikan Berkarakter".
     Ketone pancen dadi klop lah. Malah panjenengane muji langkah Pemkab Kebumen sing wani nganani LPPL televisi, nggo ngakeh-ngakehna warta sekang Jawa Tengah bagian kidul. Kesenian-kesenian daerah uga bisa luwih akeh disiarna, nek perlu mbareng gawe karo TVRI Jawa Tengah. Sing genah Pak BS rumangsa mongkog anane Ratih TV wis duwe izin siaran tetap minangkane lembaga penyiaran publik lokal televisi, siji-sijine LPPL nang Jawa Tengah, malah kepara siji-sijine LPPL duweke Pemda sing ana nang Indonesia. Moga-moga Ratih TV dadi conto daerah liya nggawe LPPL televisi.
    Rampung siaran inyong ya nyalami. Jebul panjenengane ya tesih kelingan jaman tahun 1983 ketemu nang UNNU Solo. Wektu kuwe Pak BS ceramah selaku ketua Keluarga Penulis Semarang (KPS), tesih dadi redaktur tamu rubrik sastra Minggu Ini koran Suara Merdeka. Awit wektu kuwe inyong nduwe cita-cita dadi penulis. Seorane ya pancen wis keleksanan, dadi wartawan Wawasan awit 1986 ngasi "tobat" tahun 2010.
     Lha sikine arep ngapa maning jel! Pas Pak BS nerusna acara kampanye nang daerah Alian, inyong di-SMS; "Dibantu ya pencalonan DPD saya!". Spontan inyong ya njawab: "Insya Allah aku sing ngerti karepmu!" Ning ya karo mbatin, apa enggane mengko tanggal 9 April 2014 inyong sekeluarga ya kudu nyoblos calon anggota DPD Jawa Tengah nomor 6 Pak BS kiye? Ngelingi sejarah kaya kuwe mau, maene kepriben ya kira-kira? Nang biodatane Pak BS ketone tharik-tharik banget; lahir di Blora 30 Januari 1957, lulus S1 (1983), (S2 (1991), S3 (2009) Fakultas Hukum Undip. Wakil Pemimpin redaksi Suara Merdeka (1989-1997), Pemimpin Redaksi Suara Karya (1999-2004), Ketua PWI Jateng (1992-1998), Sekjen PWI Pusat (1998-2003), Anggota DPR RI (1997-2009), Wakil Ketua DPRD Jateng (2009-2014), Ketua Partai Golkar Jateng (2004-2009), Ketua Dewan Kesenian Jateng (2007-2011). Kegiatannya sekarang juga mengajar di Program Magister Hukum Universitas Semarang (SDM) dan Program Magister Komunikasi di Fisip Undip.
     Rasane dadi bingung loh, milih apa ora ya maene? Ah, rika kabeh ngerti mbok lah karepku?
(Kholid Anwar)

Minggu, 02 Februari 2014

Saat Gempa Berdzikir dengan Keindahan Batu Karangsambung

Pahatan alami dari Dzat Yang Maha Indah
Kemarin seorang teman mengajak lihat-lihat Pondok Batu di Jl Kutoarjo, Selang. Di sana ternyata tersimpan batu-batu antik dari Karangsambung. Dulu era mantan Menteri Kehakiman Ali Said masih aktif mengoleksi sueseki, trend batu-batu antik dan bonsai memiliki komunitas orang-orang elite. Pasca booming antorium,  aktivitas yang terkait hobi mengoleksi batu dan tanaman belum terlihat bangkit.
      Tapi teman tadi melihat koleksi batu dan bonsai orang tuanya mulai yakin, kekayaan alam yang sempat dikumpulkan ayahnya dari bumi Karangsambung akan menjadi harta berharga. Setidaknya jika keindahan alami batu-batu sueseki koleksinya itu bisa diapresiasi dengan baik, selain mampu memberikan informasi pengetahuan geologi, juga membangkitkan apresiasi seni alami.
Dedaunan itu pun berdzikir di atas batu
      "Bahkan dari batu-batu ini kita bisa berdzikir, menyadari betapa Allah itu Maha Indah, melukis alam tanpa batas keindahannya. Kalau kita tempatkan batu-batu ini pada satu titik di mana mata melihat disertai perasaan cinta pada penciptanya, bukankah kita akan mengajak berdzikir selalu ingat akan Keagungan dan Keindahan Allah?"
      Memang terlihat indah saat tiap guratan yang ada di batu-batu purba itu dicermati dengan teliti. Lukisan alami yang tak mungkin tertandingi pelukis mana pun. Entah jenis batu apa saja dalam terminologi ilmu geologi. Yang jelas, selama ini dari Laboratorium Alam Geologi Karangsambung yang dikelola LIPI sering mempublikasikan, jenis-jenis batu yang ada di sana merupakan bukti terjadinya tumbukan lempeng bumi Auro-Asia.
     Lebih gampangnya, kerak bumi bertabrakan. Titik yang bertumbukan itu sampai menjulang menjadi perbukitan Karangsambung itu. Sehingga batu-batu yang ada di kawasan sana jenisnya adalah batu yang berasal dari dasar samudera.
Andai tumbukan lempeng bumi melesat ke perut bumi?
 
Semar pun berdzikir
Saat kita harus membaca fenomena gempa bumi kemarin, dan mengingat "teori ilmiah" terjadinya perbukitan Karangsambung, yang tersirat di benak kok terasa mengerikan ya? Jangan-jangan gempa itu baru awal pergerakan lempeng bumi menuju benturan lebih keras. Efek tumbukan yang menjulang ke atas tertekan dari arah vertikal lalu lempeng bumi patah masuk ke dalam perut bumi? Maka Kebumen bisa ambles, berubah kembali menjadi dasar samudera?
      Yang terbayang kemudian, kiamat memang sudah dekat. Kapan? Ah, para ustadz selalu mengingatkan,selama nama Allah masih disebut-sebut manusia, kiamat belum akan terjadi. Jadi? Ya, perbanyaklah berdzikir, dengan melihat keindahan bebatuan Karangsambung, mungkin dzikir itu bisa lebih nyambung. Allah Maha Perkasa, dan Allah juga Maha Indah serta menyintai yang indah-indah. (Kholid Anwar)
      

Jumat, 31 Januari 2014

Banyak Orang Gagal Menghadapi Cobaan Menyenangkan

Mengawali perubahan status
Teringat betul nasihat Kiai Khozaki alias KH Syaefudin Daldiri "panglima" Front Toriqatul Jihad (FTJ) dari Sidodadi Kuwarasan yang masih "kepernah" paman itu di Balai Wartawan paseban kulon alun-alun Kebumen usai oprasi miras tahun 2000-an. "Sing jeneng coba kuwe werna loro; siji coba sing nyengiti, loro coba sing nyenengna". Maksudnya adalah, cobaan hidup yang menjengkelkan justru lebih gampang dihadapi dan banyak orang yang lulus menjalani cobaan itu. Sedangkan cobaan yang menyenangkan hati, seperti halnya mendapatkan setumpuk uang yang tidak jelas asal-usulnya, hanya sedikit orang yang bisa lulus menghadapi ujian itu.
Persepsi berlebihan tentang kiai
Sebagai wartawan saat itu saya hendak konfirmasi atas berita mulai maraknya judi togel yang menginduk pada Kuis Siapa Berani Indosiar. Diperoleh keterangan dari koordinator lapangan FTJ, bandar togel yang berpusat di Gombong konon masih merugi. Maka kepada Kiai Khozaki itulah saya konfirmasikan masalah tersebut. "Apakah untuk menggerebek judi togel itu harus menunggu bandarnya untung banyak?". Nasihat itulah yang kemudian dijelaskannya, dan terus memberikan tanda tanya berkepanjangan setiap mendengar
Jamaah masjid punya persepsi sendiri-sendiri.
ada kiai di kampung-kampung yang memperoleh sumbangan dari politisi atau pejabat menjelang pemilu atau pasca-pemilu.
Di sisi lain, sepulang berhaji adik saya ngudarasa ingin membeli Tosa bekas untuk antar-jemput gabah. Sebelumnya untuk mendapat order penggilingan padi warisan orang tua ia terpaksa harus ngojek jemput dan antar gabah dengan sepeda motor karena harus bersaing dengan penggilingan padi keliling. Ternyata ia menghadapi masalah. Setelah disebut Kiai Haji, karena ia memang yang mendapat amanat untuk menjadi imam masjid di kampung itu, warga sungkan untuk "menyuruh" atau kirim SMS meminta untuk ngojek menggilingkan gabah. Untuk mempekerjakan orang lain, omset per harinya tak cukup layak memberikan bayaran, sehingga tetap harus ditangani sendiri sebagai buruh dari penggilingan padi sumber matapencaharian seorang kiai.
"Ya ini memang cobaan yang menjengkelkan, tapi sekaligus juga menggelikan. Jadi antara jengkel dan senang, menghadapinya gampang-gampang susah," komentar saya. Ia hanya bisa tersenyum getir menghadapi cobaan hidup dan tanggung jawab yang harus diemban membawa amanat orang tua. Yang jelas ini bukan cobaan menyenangkan sehingga tetap yakin bisa diatasi. Sebab, seperti nasihat Kiai Khozaki, banyak orang gagal saat menghadapi cobaan yang menyenangkan. (Kholid Anwar)

Selasa, 28 Januari 2014

Pilih Caleg Haruskah Shalat Istikharah?

Sedikit jengkel memang begitu pulang melihat stiker caleg DPRD Kebumen tertempel di pintu rumah. Siapa yang menempelkannya, anakku yang siang itu sudah di rumah mengaku tidak tahu. Maksudku sekadar ingin tahu, apakah saat menempelkan itu minta izin. Rasanya ingin serta merta stiker itu dilepas. Tapi setelah dicermati, ternyata gambar adik sendiri, Nurohman, anak paman, mantan kades Tunjungseto yang katanya disuruh nyaleg lewat PKB untuk Dapil 2.
Alasan dia maju antara lain agar Kecamatan Kutowinangun yang penduduknya banyak sudah lebih dari lima belas tahun tidak pernah punya wakil rakyat di DPRD Kebumen. Tapi di bawah stiker itu juga ada gambar teman sendiri, Mahrur Adam Maulana. Dicermati ternyata dosen IAINU Kebumen yang warga Kuwarisan Kutowinangun. Semboyannya juga agar Kutowinangun punya wakil, tidak kalah dari caleg dari kecamatan lain seperti Poncowarno, Alian, Karangsambung, dan Sadang.
Desaku tanpa caleg ya sudah seperti itu.
Itulah masalahnya. Dua caleg dari satu partai di satu kecamatan maju bareng. Bisa jadi perolehan suaranya kalah dari caleg separtai dari kecamatan lain dalam satu dapil. Masalah lainnya, dari dua caleg itu siapa yang harus dipilih. Apakah hukumnya wajib memilih wakil yang satu desa dan bahkan masih saudara? Sebab ada caleg lain yang "sudah berpengalaman" menjadi politisi PKB.
Ah, mungkin tak usah dipilih dua-duanya ya? Soalnya, tak mungkin kalau harus minta wuwur kepada keduanya. Atau sebaliknya, mereka berdua pasti tak akan berani ngasih wuwuran. Tinggal menghitung suara tokek lah. Karena rasanya sangat berlebihan jika hanya untuk memilih caleg pada 9 April 2014 nanti harus shalat istikharah, sekadar memilih satu di antara yang jelek-jelek. Mungkin seperti kebanyakan warga sedesa, ada atau tidak ada wakil di DPRD tak banyak berpengaruh pada tingkat kesejahteraan warga. (Kholid Anwar)

Urut Sewu, Tsunami dan Tambang Pasir Besi

Warga konsisten menolak tambang pasir besi

Masih dalam kebingungan bagaimana masalah tambang pasir besi di urut sewu mengancam benteng pertahanan kawasan pesisir selatan dari gempuran kemungkinan datangnya tsunami, tiba-tiba ada "wangsit" datang lewat SMS. Intinya, jika hendak menyelesaikan masalah tambang pasir besi, sowanlah ke seorang kiai yang menjadi kesepuhan di wilayah Kecamatan Ambal. Repotnya, untuk sowan ke sana harus mengajak pejabat teras di Pemkab Kebumen. Tentu ini sulit dilaksanakan karena masalah kebijakan tambang pasir besi itu otoritas pucuk pimpinan di Kebumen, dan peristiwa Gempa Kebumen bisa diartikan gempa politik jika kait mengait kejadian alam itu ditafsirkan lebih liar. Begitu pelik memang menyelesaikan masalah urut sewu, apalagi jika menyimak SURAT TERBUKA yang dirilis situs resmi PB NU di http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,49747-lang,id-c,nasional-t,Nahdliyin+Tuntut+TNI+AD+Hentikan+Pemagaran+Pesisir+Urut+Sewu-.phpx;

Nahdliyin Tuntut TNI AD Hentikan Pemagaran Pesisir Urut Sewu

Senin, 27/01/2014 17:39
Konflik tanah di Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) telah berlangsung sejak penggabungan desa 1920. Pada 1932 pemerintah Kolonial Belanda mengadakan klangsiran tanah yang membagi tanah berdasarkan nilai ekonomisnya, dengan tujuan akhir menetapkan pajak yang harus dibayar oleh masyarakat.
Penjajah Belanda mengklaim tanah pada jarak ± 150—200 m dari garis pantai sebagai milik Belanda. Masyarakat menyebutnya sebagai “Tanah Kompeni”, dan melawan Belanda untuk merebut kembali tanah-tanah ini. Pada 1937, Tentara Kolonial Belanda memakai pesisir Urutsewu sebagai arena latihan militer, dan dilanjutkan oleh Jepang pada 1942-5.

Maret-April 1998 Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) melakukan pemetaan sepihak dan melabeli area lapangan tembak dengan “Tanah TNI-AD”, dan meminta tandatangan dari kepala desa di kawasan Urutsewu. Belakangan tanda tangan ini dipakai oleh TNI-AD sebagai klaim pengalihan status kepemilikan tanah, sesuatu yang tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Pada 2006, TNI kembali melakukan klaim lewat mekanisme tanah berasengaja yang dipakai untuk lapangan tembak. Dalam persepsi warga berasengaja adalah tanah yang sengaja di-bera-kan (tidak ditanami) dan digunakan sebagai penggembalaan ternak.

TNI AD meluaskan klaimnya menjadi 1000 m dari garis pantai pada 2007 dan meminta ganti rugi dalam proses pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa. Klaim TNI AD ini memicu perlawanan keras dari masyarakat dalam bentuk pencabutan patok radius 1000 m dari garis pantai. TNI AD mengancam warga terkait perlawanan ini. Belakangan, klaim “jarak 1000 m” TNI AD diakomodir dalam Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kebumen.

Pada 2008 Kodam IV Diponegoro mengeluarkan surat Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit untuk Penambangan Pasir Besi kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Artinya, TNI AD meneruskan klaimnya terhadap tanah di pesisir Urutsewu, sekaligus terlibat dalam bisnis pertambangan pasir besi. Hal terakhir ini diperkuat dengan terlibatnya salah seorang pensiunan TNI-AD sebagai komisaris PT MNC. Per Januari 2011, pemerintah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT MNC selama 10 tahun, tanpa sosialisasi. Dalam surat ini dinyatakan bahwa luasan lahan yang akan ditambang adalah 591,07 ha dengan 317,48 ha diantaranya adalah tanah milik TNI AD.

Hal ini memicu reaksi keras dari warga yang disusul dengan penyerangan warga oleh TNI AD dan berujung pada 6 orang petani dikriminalisasi, 13 orang luka-luka, 6 orang diantara luka akibat tembakan peluru karet dan di dalam tubuh seorang petani lainnya bersarang peluru karet dan timah, 12 sepeda motor milik warga dirusak dan  beberapa barang, seperti handphone, kamera dan data digital dirampas oleh tentara. Tetapi pada Mei 2011, melalui surat Kodam IV Diponegoro, TNI AD mencabut persetujuan penambangan pasir besi yang telah diberikan kepada PT MNC.

Pada 2012, warga menolak pengesahan perda RTRW yang menjadikan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi dan area latihan dan uji coba senjata berat. Alternatif tuntutan warga adalah “jadikan Urutsewu hanya sebagai kawasan pertanian dan pariwisata”. Masih dalam fase yang sama, warga mengusir PT MNC dari Kecamatan Mirit, meskipun izin pertambangan belum dicabut sampai sekarang (Januari 2014).

Pada Desember 2013, TNI AD melakukan pemagaran dan sudah merambah 2 desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan. Meskipun sudah mendapatkan penolakan yang sangat keras dari masyarakat, tetapi TNI AD tetap melanjutkannya.

Karena itu, kami dari Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dengan ini menuntut kepada Panglima TNI untuk :

1. Memerintahkan penghentian pemagaran di sepanjang pesisir Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jateng oleh TNI AD.

2. Memerintahkan untuk membersihkan semua material, baik yang sudah terpasang maupun belum terpasang dari lokasi pemagaran.

Mengingat mayoritas petani adalah Nahdliyin, kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kami memohon perlindungan terhadap warga di Urutsewu sehubungan dengan konflik tanah yang berkepanjangan di daerah ini.

Dalam konteks yang lebih luas, mengingat tata kelola sumber daya alam (SDA) yang sebagain besar dikuasai oleh perusahaan asing dan maraknya konflik berbasis SDA di Indonesia dewasa ini, maka FNKSDA:

1. Menuntut Pemerintahan Republik Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan nyata dan sepadan terhadap usaha-usaha yang membahayakan KEDAULATAN NKRI MERDEKA dan AGAMA.

2. Menuntut Nahdlatul Ulama agar memerintahkan perjuangan “fi sabilillah” guna merebut penguasaan sumber daya alam demi tegaknya KEDAULATAN NKRI MERDEKA dan Agama Islam.

3. Menyerukan kepada semua warga Nahdliyin dan ummat Islam untuk mempertahankan tanah air dari rongrongan kapitalisme ekstraktif dengan merebut dan menasionalisasi penguasaan Sumber Daya Alam.
________
Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) adalah wadah koordinasi antara Jamaah NU yang memiliki kehirauan mengenai permasalahan konflik pengelolaan sumberdaya alam (SDA), seperti udara, air, tanah, dan segala yang terkandung di dalamnya, terutama yang terjadi di basis NU.

Kelahiran Front ini diawali oleh diskusi tematik bertajuk “NU dan Konflik Tata Kelola SDA” yang diadakan di Pendopo LKiS, Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 2013 dengan pembahasan kasus di berbagai daerah di Indonesia. Diskusan sepakat untuk membentuk aliansi dengan tujuan menyiapkan media jaringan untuk kelancaran sirkulasi informasi dan kemudahan pengorganisasian serta mengarusutamakan tata kelola SDA di kalangan NU. (Red: Abdullah Alawi)

Senin, 27 Januari 2014

Wangsit Akan Ada Gempa Kebumen Lebih Dahsyat?

Memahami peristiwa gempa Kebumen dari pandangan rasional dan "ilmiah" mungkin bisa dengan cara menyimak publikasi berbagai analisis para pakar kegempaan. Di situs www.kompas.com misalnya, peristiwa gempa susulan skala 5,3 SR pada Senin pukul 23.14 menunjukkan bahwa gempa pertama pada Sabtu pukul 12.14 sebagai "gempa yang memicu" pergeseran lempeng tektonik menuju keseimbangannya. Hal tersirat dari informasi yang rasional itu adalah masih ada kemungkinan terjadi gempa yang lebih besar. Karena lokasi gempa pada kedalaman 33 km dan jaraknya juga mendekati daratan dari gempa sebelumnya 104 km menjadi 68 km. Maka hitungan rasionya jika ada gempa lagi dampaknya akan sangat dahsyat.
Di sisi lain, dari sudut pandang irasional tentang gempa itu datang dari sebuah SMS seorang yang terbiasa menjalin koneksi dengan sumber informasi irasional. Orang Jawa biasa menyebut wangsit, sebuah pesan dari para leluhur agar anak cucu yang masih hidup mau "eling lan waspada". Sebutlah ia dengan panggilan Ki Joko; "Kita diminta memperbanyak sejud dan bertafakur, ingat para leluhur, dan mau menyantuni alam," pesan Ki Joko.
Pesan irasional itu terasa gathuk dengan informasi lain dari sumber berbeda. Dari leluhur yang makamnya di wilayah Kecamatan Ambal menyampaikan isarat agar jangan berhenti berdoa; "Ya Allah, kami mohon agar keluarga, warga dan daerah kami aman. Amin amin amin ya rabbal 'alamin".  Ini perlu permenungan untuk menangkap maknanya. Sebab wangsit itu datang pasca-gempa pertama, saat sudah diketahui dampak gempa di daerah Kebumen tak separah daerah tetangga. 
Pesan para pakar kegempaan yang melihat peristiwa alam dari sudut rasional, warga di daerah Kebumen dan sekitarnya agar tetap waspada tapi tidak perlu panik dan ketakutan. Namun bagaimana warga tidak takut jika analisis ilmiah para pakar itu memang menakutkan? Menjawab ketakutan dengan banyak membaca doa tadi mungkin dianggap irasional. Tapi kalau hal irasional itu memang fungsional untuk mencipta ketenangan batin, tentu sangat baik untuk dilakukan dengan sepenuh kesadaran yang rasional. Semoga Allah mengabulkan doa kita; daerah Kebumen tetap aman. Amin! (Kholid Anwar)
 

Lagi, Gempa 5,3 SR Guncang Kebumen dan Sekitarnya

Senin, 27 Januari 2014 | 23:44 WIB

KEBUMEN, KOMPAS.com — Gempa kembali mengguncang Kebumen, Jawa Tengah, dan sekitarnya pada Senin (27/1/2014) sekitar pukul 23.14 WIB.

Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa tersebut berkekuatan 5,3 skala Richter (SR).
Pusat gempa di Samudra Hindia, sekitar 68 kilometer arah barat daya Kebumen, dengan kedalaman 33 kilometer.
Getaran gempa dilaporkan terasa hingga Kota Yogyakarta dan Bandung. Sejumlah pengguna akun Twitter melaporkan getaran tersebut.
Sebelumnya, gempa berkekuatan 6,5 SR berpusat di Samudra Hindia terjadi pada Sabtu (25/1/2014) pukul 12.14 WIB. Akibat gempa tersebut, puluhan bangunan ambruk di wilayah Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purworejo, Magelang, dan sekitarnya. Gempa itu kemudian diikuti gempa susulan hingga enam kali.
Gempa dengan kekuatan lebih kecil, yakni dengan skala 4,7 SR berpusat di dekat pusat gempa pertama, menyusul pada Sabtu tengah malam pukul 23.58 WIB. Sejauh ini, tidak ada korban jiwa dari rangkaian gempa tersebut.(Tri Wahono)

Minggu, 26 Januari 2014

Tambang Pasir Besi dan Tsunami Ancaman Nyata Kebumen



Ancaman nyata tsunami di pantai selatan Kebumen telah dilontarkan para ilmuwan. Namun pemangku kekuasaan di wilayah ini seperti menutup telinga. Gumuk pasir di pesisir Mirit sampai Buluspesantren dalam waktu dekat akan ditambang untuk mengeruk pasir besi dari sana. Usaha keras masyarakat menolak penambangan pasir besi tak pernah berhenti. Tapi rupanya penguasa makin menggunakan tangan besi membungkam gerakan penolakan.
Kalau saja penguasa Kebumen tidak bebal, informasi dari para pakar itu tentu membuat mereka berpikir ulang; tambang pasir besi harus dihentikan, tak peduli apakah investor rugi karena sudah telanjur memberi fee atau mau kabur. Rakyat terutama yang berada di kawasan pesisir harus diselamatkan dari ancaman tsunami. Sebab gumuk pasir itu adalah benteng terbaik dampak tsunami jika suatu saat nanti tsunami melanda selatan Kebumen. Kini semakin tampak, kehadiran investor tambang pasir besi dan prediksi-prediksi para pakar kegempaan makin mempertegas, tambang pasir besi dan tsunami menjadi ancaman nyata Kebumen selatan. Masih mau menentang alam dan dengan sinis mengatakan, “Insya Allah aku sing ngerti karepmu’?” Mulailah bertafakur, dzikir kepada dzat yang menguasai alam, ingat pesan leluhur dan santuni alam, Insya Allah bencana itu datang bukan sebagai hukuman, namun sebagai pengingat agar manusia tidak makin tamak mengeksploitasi alam! (Kholid Anwar)

Gempa Kebumen Bisa Memicu Gempa Lebih Besar
KOMPAS.com - Segmen dimana pusat gempa Kebumen pada Sabtu (25/1/2014) terjadi sebenarnya segmen pendiam. Namun, kemarin, segmen itu seolah bersuara, menunjukkan bahwa dirinya "hidup".
Gempa mengguncang Kebumen kemarin pada pukul 12.14 WIB. Magnitud yang dihasilkan oleh si segmen pendiam sebesar 6,5. Dengan pusat gempa 40 km dari garis pantai dan pada kedalaman 88 km, gempa dirasakan oleh hampir seluruh warga Jawa.
Widjo Kongko, peneliti gempa dan tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengungkapkan, dalam radius 100 km dari pusat gempa kemarin, cuma ada 10 gempa bermagnitud lebih dari 5 dalam 4 dekade. Suara dari segmen pendiam itu adalah sinyal adanya bahaya."Gempa kemarin menunjukkan bahwa subduksi selatan Jawa masih aktif dan perlu selalu diwaspadai," ungkap Widjo kepada Kompas.com, Minggu (26/1/2014).
Subduksi, atau pertemuan antar dua lempeng, Jawa selama ini tak seaktif subduksi Sumatera. Namun, bukan berarti subduksi itu mati dan tak mampu menghasilkan gempa dan tsunami yang mematikan. Selain kemarin, subduksi Jawa pernah bergejolak pada tahun 1994 mengakibatkan gempa dan tsunami di Pacitan. Sementara, pada tahun 2006, tak lama setelah gempa Yogyakarta, subduksi Jawa juga memicu gempa dan tsunami di Pangandaran.
Irwan Meilano, pakar tektonik dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengungkapkan bahwa ancaman dari selatan Jawa tidak main-main. Selama ini, pakar tektonik membagi subduksi di selatan Jawa menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama dari selat Sunda hingga selatan Jawa Barat. Bagian kedua adalah di selatan Jawa Tengah. Sementara, bagian ketiga adalah di selatan Jawa Timur hingga Bali. Kajian para ilmuwan menunjukkan bahwa masing-masing bagian bisa memicu gempa serta tsunami yang dapat berdampak merusak. "Masing-masing bisa menghasilkan gempa dengan magnitud 8,5," kata Irwan. Ancaman nyata dari selatan Jawa harus ditindaklanjuti oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. "Jawa selatan masih gelap. Makanya perlu kajian lebih lanjut. Kita selama ini baru memetakan klustering gempa 2006 dan 1994 yang menimbulkan tsunami," kata Widjo. "Berbeda dengan Sumatera, kajian di wilayah ini masih jarang," imbuhnya. Edukasi kepada masyarakat harus ditingkatkan. Publik sendiri bisa berupaya membentengi diri dengan membangun rumah tahan gempa serta tidak berlokasi di dekat pantai untuk mengurangi risiko tsunami.(Yunanto Wiji Utomo)