Rabu, 26 Maret 2014

Lulus Takwa, Paradoks Perda Pembelajaran Baca Tulis Al Quran.



Perda pembelajararan baca tulis Al Quran yang diinisiasi oleh DPRD Kebumen tampak sekali mengandung sejumlah paradoks. Secara garis besar, pertimbangan dibuatnya rancangan perda hanya didasari penafsiran sempit pasal 18 UUD 1945 ayat (6); Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Logika praktisnya, untuk melaksanakan otonomi daerah berhak menetapkan perda tentang apa saja.
Paradoks yang lebih memprihatinkan, tafsir terhadap Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut, “pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia.” Diksi tersebut secara paradoksal dimaknai untuk bisa mencapai tujuan pendidikan “mempersyaratkan pemahaman peserta didik terhadap isi kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa”.  
Dari dua hal yang paradoksal itu ditarik kesimpulan, “Al Quran sebagai kitab suci umat Islam perlu dipahamkan secara baik kepada para peserta didik yang beragama Islam melalui pembelajaran baca tulis Al Quran”.  Yaitu, “proses belajar mengajar yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan baik di lingkungan pendidikan formal, informal, dan nonformal untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik agar mampu baca tulis Al Quran”.
Masalah lalu lebih disederhanakan. Untuk membentuk manusia beriman dan bertakwa sesuai tujuan undang-undang, maka Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pemenuhan dan/atau peningkatan jumlah dan kualifikasi tenaga pengajar pada satuan pendidikan dasar (pasal 11). Anehnya, untuk menentukan kualifikasi tenaga pengajar, diatur oleh Bupati berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 12).  Ini konyol, karena pasti Bupati tak akan bisa menemukan peraturan perundang-undangan tentang kualifikasi tenaga pengajar baca tulis Al Quran.
Kekonyolan pikir berikutnya, Pemerintah Daerah selaku kelembagaan negara bertanggung jawab dan menjadi penentu ukuran seorang peserta didik “lulus takwa” dengan memberikan sertifikat. Bahkan sertifikat itu dijadikan syarat untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang berikutnya (pasal 27). Sertifikasi itu memiliki konsekuensi hukum pidana. “Setiap orang yang memalsukan sertifikat baca tulis Al Quran sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (3) dan pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)” (pasal 38).
Tampak jelas dalam (rancangan) perda tersebut, ukuran ketakwaan peserta didik yang berhak memperoleh sertifikat adalah yang telah menguasai materi pembelajaran baca tulis Al Quran. Yakni meliputi pengenalan membaca, menulis, menghafal, dan menterjemahkan Al Quran serta pemahaman terhadap kandungan Al Quran (pasal 15). Menjadi peraturan yang konyol jika disadari bahwa kemampuan menterjemahkan serta memahami kandungan Al Quran bagi anak SD dan SMP hanya dikuantifikasi dalam sertifikat yang ditanda tangani Kepala Dinas dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten (pasal 24).
Secara keseluruhan (rancangan) perda tersebut bertentangan dengan substansi pasal 28E Undang-undang Dasar 1945 ayat (1); “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,....” serta ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Sertifikasi oleh negara (pemkab) atas kemampuan memahami kandungan Al Quran adalah bentuk pemaksaan terhadap peserta didik dalam memeluk agama Islam. Padahal dalam Al Quran sendiri ditegaskan, tidak ada pemaksaan dalam beragama. Jadi perda itu bukan hanya bertentangan dengan UUD 1945 tapi juga bertentangan dengan Al Quran itu sendiri. Karena memeluk agama dan beribadat (memahami kandungan Al Quran) itu adalah hak dan bukan kewajiban warga negara. (Kholid Anwar)