Perda
pembelajararan baca tulis Al Quran yang diinisiasi oleh DPRD Kebumen tampak
sekali mengandung sejumlah paradoks. Secara garis besar, pertimbangan dibuatnya
rancangan perda hanya didasari penafsiran sempit pasal 18 UUD 1945 ayat (6); Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Logika praktisnya, untuk
melaksanakan otonomi daerah berhak menetapkan perda tentang apa saja.
Paradoks
yang lebih memprihatinkan, tafsir terhadap Undang-undang nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut, “pendidikan nasional
bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia.” Diksi tersebut secara
paradoksal dimaknai untuk bisa mencapai tujuan pendidikan “mempersyaratkan
pemahaman peserta didik terhadap isi kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa”.
Dari
dua hal yang paradoksal itu ditarik kesimpulan, “Al Quran sebagai kitab suci
umat Islam perlu dipahamkan secara baik kepada para peserta didik yang beragama
Islam melalui pembelajaran baca tulis Al Quran”. Yaitu, “proses belajar mengajar yang
dilakukan oleh penyelenggara pendidikan baik di lingkungan pendidikan formal,
informal, dan nonformal untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik agar
mampu baca tulis Al Quran”.
Masalah
lalu lebih disederhanakan. Untuk membentuk manusia beriman dan bertakwa sesuai
tujuan undang-undang, maka Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pemenuhan
dan/atau peningkatan jumlah dan kualifikasi tenaga pengajar pada satuan pendidikan
dasar (pasal 11). Anehnya, untuk menentukan kualifikasi tenaga pengajar, diatur
oleh Bupati berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 12). Ini konyol, karena pasti Bupati tak akan bisa
menemukan peraturan perundang-undangan tentang kualifikasi tenaga pengajar baca
tulis Al Quran.
Kekonyolan
pikir berikutnya, Pemerintah Daerah selaku kelembagaan negara bertanggung jawab
dan menjadi penentu ukuran seorang peserta didik “lulus takwa” dengan
memberikan sertifikat. Bahkan sertifikat itu dijadikan syarat untuk melanjutkan
pendidikan formal ke jenjang berikutnya (pasal 27). Sertifikasi itu memiliki
konsekuensi hukum pidana. “Setiap orang yang memalsukan sertifikat baca tulis
Al Quran sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (3) dan pasal 25 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)” (pasal 38).
Tampak
jelas dalam (rancangan) perda tersebut, ukuran ketakwaan peserta didik yang
berhak memperoleh sertifikat adalah yang telah menguasai materi pembelajaran
baca tulis Al Quran. Yakni meliputi pengenalan membaca, menulis, menghafal, dan
menterjemahkan Al Quran serta pemahaman terhadap kandungan Al Quran (pasal 15).
Menjadi peraturan yang konyol jika disadari bahwa kemampuan menterjemahkan
serta memahami kandungan Al Quran bagi anak SD dan SMP hanya dikuantifikasi
dalam sertifikat yang ditanda tangani Kepala Dinas dan Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten (pasal 24).
Secara
keseluruhan (rancangan) perda tersebut bertentangan dengan substansi pasal 28E
Undang-undang Dasar 1945 ayat (1); “setiap orang berhak memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,....” serta ayat
(2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Sertifikasi oleh negara
(pemkab) atas kemampuan memahami kandungan Al Quran adalah bentuk pemaksaan
terhadap peserta didik dalam memeluk agama Islam. Padahal dalam Al Quran
sendiri ditegaskan, tidak ada pemaksaan dalam beragama. Jadi perda itu bukan
hanya bertentangan dengan UUD 1945 tapi juga bertentangan dengan Al Quran itu
sendiri. Karena memeluk agama dan beribadat (memahami kandungan Al Quran) itu
adalah hak dan bukan kewajiban warga negara. (Kholid Anwar)