Senin, 06 Januari 2014

Kiai Sonhaji, Gus Dur, Alisa Wahid dan Kang Tajib

Akhir Desember 2013 putri sulung Gus Dur, Alisa Wahid, mampir ke kediaman Kang Tajib penggerak Gusdurian di Kebumen. Di sana Mbak Alisa sama sekali tak memperlihatkan kalau dia seorang putri Presiden ke-4 RI. Ini mungkin karena terbawa suasana "istana" Kang Tajib yang siang itu Muinatul Khoiriyah (Mbak Iin) istri Kang Tajib menyuguhkan menu makan siang pecel lele dan pete. 
   Di tengah lesehan sekitar 10 orang a-la Indipt, percakapan "ngalor-ngidul" tetap berlangsung hangat. Biasa, ngrasani elite di Jakarta itu menjadi pembicaraan menarik. Apakah Pak Mahfudz MD serius nyalon presiden, dan apakah komitmennya pada nilai-nilai Gusdurian masih konsisten. Mbak Alisa menilai Pak Mahfudz itu orangnya baik. Sayangnya orang-orang yang mendukung itu terlihat tidak kompak. Memang sulit menjelaskan, dan sangat rumit untuk mengurai mengapa pendukung Pak Mahfudz tidak kompak.
   Toh siang itu tidak diacarakan diskusi membahas soal copras capres, karena di mushala Desa Kembaran, 50 meter selatan rumah Kang Tajib, sudah menunggu sekitar 50 warga sekitar dan para Gusdurian dari lintas agama dan kelompok masyarakakt, termasuk dari kelompok difabel, menunggu untuk berdialog. Sangat menyesal saya tak bisa mengikuti dialognya.
"Maaf Mbak Alisa, saya tak bisa ikut mengantar ke acara, mau menjemput istri," saya pamitan.
     "Oh, ya! Itu lebih penting!" katanya. Di perjalanan ke tempat kerja istri, ucapan Mbak Alisa beresonansi di telinga. Menjemput istri itu lebih penting. Langsung terbayang cerita tentang Kiai Sonhaji Jimbun, Jabres Sruweng, yang dikenal sebagai gurunya Gus Dur. Pengakuan Gus Dur bahwa Mbah Sonhaji itu gurunya saat berlangsung istighotsah akbar di Gelora Bung Karno.
Pertanyaannya, guru dalam hal apa? Masih di tengah jalan sepulang dari rumah Kang Tajib, resonansi itu memberkaskan file kecil dalam memori. Seorang bibi saya yang menjadi tetangga Kiai Sonhaji menceritakan kesaksiannya, sering melihat Kiai Sonhaji ke pasar Tengok belanja sayuran sendiri. Di mata bibi saya itu pemandangan aneh, mengesankan istrinya "kebangetan" membiarkan kiai yang sudah sepuh "kedangkrakan" ke pasar sendiri. 
     File lain pun terbuka, berkisah ketika seorang kiai yang hafal Al Quran sowan ke Kiai Sonhaji menanyakan silsilah Kiai Sonhaji. Jawab Kiai Sonhaji, "inna akramakum 'indallaahi atqaakum", sesungguhnya orang yang mulia bagi Allah itu ketakwaannya. Ayat itu diawali penegasan Allah bagaimana manusia diciptakan berjenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. 
     Silaturahmi Mbak Alisa ke komunitas Gusdurian di Kebumen dan kesederhanaan sikap tidak memandang nasab sebagai hal yang harus diagung-agungkan begitu kentara. Itu sudah menggambarkan, bagian kecil dari ajaran Gus Dur telah dihayati putri sulungnya. Hidup sederhana dan menghormati istri rupanya juga yang diajarkan Kiai Sonhaji kepada Gus Dur, dan juga telah membentuk karakter putri Gus Dur. Setidaknya begitulah kesimpulan saya saat kembali berdiskusi dengan Kang Tajib. 
     "Coba itu ditulis saja Mas!" kata Kang Tajib. Maka jadilah cerita ini, dan semoga memberikan manfaat untuk siapa pun yang berkenan membacanya. Amiin! (Kholid Anwar)

2 komentar:

  1. 2014 sudah lama tpi maaf saya ingin tanya ? ? Apa desa kembaran yg anda maksud kembaran wonosobo ??

    BalasHapus