Sekitar 70 persen warga Desa Pohkumbang Kecamatan Karanganyar Kebumen memiliki aktivitas sebagai penganyam kerajinan pandan. Namun nilai tambah dari hasil kerajinan itu dinikmati oleh orang luar desa.
Sebab, warga di sana hanya menganyam complong, bahan anyaman setengah jadi yang nantinya akan diproses menjadi tas, sandal, kotak-kota souvenir, dan beragam cindera mata lain yang sebagian besar diekspor oleh penguasaha yang ada di Jogajakarta atau Tasikmalaya.
Mengapa bukan warga Pohkumbang sendiri yang memproduksi kerajinan siap ekspor? Pertanyaan itu yang kemudian hendak dijawab oleh program PLPBK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas) dari PNPM Mandiri Perkotaan.
Tahun 2014 ini tiga desa di Karanganyar, Pohkumbang, Grenggeng, dan Giripurno memperoleh alokasi dana PLPBK masing-masing Rp 1 miliar. Fokus peruntukkan jelas agar ada penataan lingkungan permukiman yang bisa mengatasi masalah kemiskinan dengan penggarapan di bidang sarpras lingkungan fisik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan sosial.
Keterpaduan program menjadi spirit.
Bagaimana langkah mencapai Pohkumbang yang mandiri dan sejahtera?
Dalam dua-tiga tahun ke depan mungkin baru bisa dirasakan bedanya. (Kholid Anwar)
Kini warga sedang bersiap melaksanakan program tersebut.
Minggu, 18 Mei 2014
Kamis, 01 Mei 2014
Berita 'Mbulet' Urutsewu, DPRD Mati Kutu?
Pemberitaan konflik Urutsewu yang belakangan mendominasi perdebatan di jaringan media sosial tampaknya makin tambah "mbulet". Ini menyusul pemberitaan di Suara Merdeka yang akan menggugat pemberitaan Jaringnews.com. Pada pemberitaan yang sudah tersebar luas itu wartawan Suara Merdeka dituduh menerima bayaran dari pemberitaan isu "dana wuwur Rp 9 miliar".
Teman-teman aktivis gerakan pembelaan rakyat Urutsewu merasa "dibunuh" dengan pemberitaan tersebut. Namun kemudian, pihak Suara Merdeka yang merasa sudah menyajikan berita sesuai standar profesi jurnalistik, telah melakukan konfirmasi kepada Kapolres segala, merasa tak ada yang salah dengan berita tersebut.
Justru belakangan, berita di Jaringnews.com yang dianggap fitnah, karena menghakimi wartawan Suara Merdeka seolah sudah dibayar oleh tentara dan penguasa untuk menulis berita yang merugikan kepentingan gerakan warga Urutsewu dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah.
Dalam koflik yang berkepanjangan seperti itu, semestinya DPRD Kebumen yang meskipun usianya hanya tinggal beberapa hari, bisa tanggap. Jangan malah mati kutu, seolah bukan lagi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan. Ada konflik antara rakyat dengan jajaran media massa. Jika tidak segera difasilitasi oleh wakil rakyat, tentu tidak mungkin pengadilan mengambil alih konflik seperti itu. Pendekatan legalistik selalu mbulet untuk menyelesaikan konflik multidimensi semacam konflik Urutsewu. Ada TNI, ada investor pasir besi, ada petani, ada buruh tani, ada komprador yang ingin mengail di air keruh, ada tokoh agama yang ingin menikmati hasil konflik, ada juga pejabat yang berkepentingan untuk meraih target di bulan April 2015 lewat pemilihan bupati.
Pertanyaannya sekarang, beranikah DPRD mengambil inisiatif untuk mengundang semua pihak yang terkait dengan permasalahan di Urutsewu, khsusnya yang meyangkut keterlibatan "oknum" wartawan yang berkonflik dengan masyarakat. Masalahnya, wartawan yang mestinya bisa menjadi mediator dalam konflik sosial, dalam kasus Urutsewu ini justru berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan rakyat. Turunnya kepercayaan rakyat terhadap media akan menjadi alarm tersendiri bagi proses demokratisasi yang sedang berjalan. (Kholid Anwar)
Teman-teman aktivis gerakan pembelaan rakyat Urutsewu merasa "dibunuh" dengan pemberitaan tersebut. Namun kemudian, pihak Suara Merdeka yang merasa sudah menyajikan berita sesuai standar profesi jurnalistik, telah melakukan konfirmasi kepada Kapolres segala, merasa tak ada yang salah dengan berita tersebut.
Justru belakangan, berita di Jaringnews.com yang dianggap fitnah, karena menghakimi wartawan Suara Merdeka seolah sudah dibayar oleh tentara dan penguasa untuk menulis berita yang merugikan kepentingan gerakan warga Urutsewu dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah.
Dalam koflik yang berkepanjangan seperti itu, semestinya DPRD Kebumen yang meskipun usianya hanya tinggal beberapa hari, bisa tanggap. Jangan malah mati kutu, seolah bukan lagi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan. Ada konflik antara rakyat dengan jajaran media massa. Jika tidak segera difasilitasi oleh wakil rakyat, tentu tidak mungkin pengadilan mengambil alih konflik seperti itu. Pendekatan legalistik selalu mbulet untuk menyelesaikan konflik multidimensi semacam konflik Urutsewu. Ada TNI, ada investor pasir besi, ada petani, ada buruh tani, ada komprador yang ingin mengail di air keruh, ada tokoh agama yang ingin menikmati hasil konflik, ada juga pejabat yang berkepentingan untuk meraih target di bulan April 2015 lewat pemilihan bupati.
Pertanyaannya sekarang, beranikah DPRD mengambil inisiatif untuk mengundang semua pihak yang terkait dengan permasalahan di Urutsewu, khsusnya yang meyangkut keterlibatan "oknum" wartawan yang berkonflik dengan masyarakat. Masalahnya, wartawan yang mestinya bisa menjadi mediator dalam konflik sosial, dalam kasus Urutsewu ini justru berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan rakyat. Turunnya kepercayaan rakyat terhadap media akan menjadi alarm tersendiri bagi proses demokratisasi yang sedang berjalan. (Kholid Anwar)
Langganan:
Postingan (Atom)