PEMBERANGKATAN jamaah haji tahun 1427 H dari Tanah Air ke Tanah
Suci dimulai 28 November 2006. Ini sudah seperti prosesi ritual, dan sekaligus
hajat besar bagi pihak penyelenggara ibadah haji untuk memberikan pelayanan
terhadap sekitar 200 ribuan umat muslim dari Indonesia menunaikan rukun
Islam kelima.
Namun belakangan prosesi ibadah suci itu dikaitkan dengan isu-isu pemberantasan
korupsi. Terutama setelah mantan Menteri Agama Said Agil Husain Al Munawar
dipenjara karena terlibat kasus korupsi dana haji.
Masyarakat awam sering mempertanyakan, bagaimana dengan para pejabat
lain, di tingkat pusat sampai daerah, dalam mengurusi penyelenggaraan ibadah
haji apakah tidak terlibat korupsi ? Terhadap orang yang hendak berhaji
pun dipertanyakan, apakah biayanya untuk berhaji tidak tercampur dengan
uang hasil korupsi ? Bukan hanya terhadap pejabat pemerintah yang berangkat
haji atas biaya dinas dan sering disebut haji abidin. Terhadap jemaah haji
lain pun dikiritisi, apakah penghasilannya didapat dengan cara yang tidak
jujur dan merampas hak orang lain ? Apakah biaya ONH orang yang berhaji
sudah terbebas dari unsur-unsur "berbau korupsi" ?
Di era kebebasan informasi, gugatan semacam itu tidak lagi bisa dijawab
dengan apologi, bahwa tidaklah baik berburuk sangka terhadap orang yang
akan berhaji. Mereka sudah punya niat suci, doakan saja semoga menjadi
haji mabrur.
Memang tidak etis mencurigai orang berhaji dengan asumsi seolah kebanyakan
di antara mereka tidak bisa terlepas dari perilaku berbau korupsi. Namun
suatu introspeksi diri, dan terus-menerus melakukan koreksi atas apa yang
telah dan akan dikerjakan terkait dengan nilai-nilai ibadah haji, kiranya
bisa dijadikan awal menjawab asumsi seperti itu.
Hindari Salah
Bukankah ibadah haji sarat nilai ibadah yang kemanfaatannya
bukan semata bagi orang per orang yang berhaji, namun juga secara sosial
mampu memberikan kemaslahatan umat ? Pada manasik haji tersimpan ajaran
penuh simbol.
Pada saat seseorang punya rencana berhaji sudah harus berpikir dari
mana biaya diperoleh secara halal. Mau berangkat meminta maaf atas segala
kesalahan kepada sesama. Ketika sampai di Tanah Suci mengenakan pakaian
ihram, niat berumrah dulu atau berhaji, sudah harus menghindari berbuat
salah melanggar aturan berihram.
Dalam melaksanakan wajib haji dan rukun haji, apakah sudah sesuai prosedur
atau ada yang dilanggar dan dikurangi, harus diketahui dengan kejujuran
hati oleh orang yang berhaji. Semua jamaah haji tentu sudah bertekad untuk
menghindari berbuat salah saat melaksanakan manasik haji. Hanya saja, berbuat
salah bisa karena kesengajaan, ketidaktahuan, atau kelalaian.
Karena itulah, untuk terhindar dari salah, orang berhaji perlu melakukan
introspeksi terus -menerus. Jika misalnya ONH menggunakan dana hasil korupsi,
atau setidaknya tercampur dengan uang yang dapat dikategorikan hasil korupsi,
bisa-bisa nanti memperoleh predikat haji korupsi. Ketika memulai melaksanakan
prosesi ibadah haji ada rukun atau wajib haji yang dikurangi secara tidak
sah, bisa dimaknai korupsi haji.
Mengambil hikmah dari setiap aktivitas ketika melaksanakan manasik haji
untuk kemudian dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sepulang
naik haji merupakan harapan jika telah berhasil melakukan introspeksi.
Kiranya, dari introspeksi itulah seseorang bisa menggapai kemabruran haji,
dan sepulang berhaji tetap mampu menjaga kemabrurannya.
Ritual Antikorupsi
Inti ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Sedangkan ritual yang
tidak boleh ditinggalkan adalah mengenakan pakaian ihram yang sering dianggap
sebagai prosesi yang memberatkan. Kalau mau meresapi makna mengenakan pakaian
ihram sebagai suatu bentuk pengekangan diri dari segala nafsu yang bersifat
duniawi, tentu segala larangan ketika berihram bukanlah beban berat.
Para pembimbing haji selalu mengingatkan, saat orang sudah mengenakan
pakaian ihram harus sudah menghindari larangan berlaku
fusuk (berkata-kata
kotor),
rafats (berbuat kerusakan), dan
jidal (berbantah-bantahan),
sebagaimana tercantum dalam Surat Al Baqarah 197. Tiga hal itu merupakan
larangan ketika mengenakan pakaian ihram, mes-kipun di luar itu pun tetap
dilarang.
Sedangkan perbuatan halal seperti memotong kuku, memotong rambut, mengenakan
wewangian, berhubungan intim suami istri, menikah atau menikahkan, menjadi
larangan ihram dapat dimaknai sebagai bentuk ritual pengekangan diri dari
nafsu-nafsu yang bersifat duniawi.
Semakin lama orang mampu berihram akan mencerminkan kesanggupannya
menghindari perbuatan munkar.
Bukan hanya pada saat dia berhaji, namun selepas itu perilaku berihram
dapat lebih membekas. Kenikmatan berihram dapat dirasakan ketika seseorang
terus-menerus berikhtiar secara batiniah untuk mendekatkan diri kepada
Allah.
Perbuatan korupsi, seperti digambarkan Robert Klifgaard (2001), menyangkut
semua tingkah laku yang menyimpang atau melanggar aturan pelaksanaan beberapa
tingkah laku pribadi. Kata korupsi berasal dari
corrupt, bermakna
menimbulkan serangkaian gambaran jahat menyangkut apa saja yang merusak
keutuhan, termasuk nilai moral.
Ihram mengajarkan orang untuk taat aturan, jika ada yang dilanggar
wajib membayar denda atau dam. Di dalamnya mengandung nilai ketaatan total.
Sekali pun orang lain tidak tahu, orang berihram senantiasa sadar Allah
mengetahuinya. Dirinya selalu merasa tidak ada gunanya menutup kesalahan
dengan bermacam alasan yang manipulatif. Dia sedang menjauhi apa yang diharamkan
Allah, dari tindakan bersifat koruptif yang nyata ataupun yang sangat tersamar.
Sering disampaikan para ulama, pintu mendekatkan diri kepada Allah
adalah perasaan tidak memiliki apa-apa. Saat orang berihram, di tubuhnya
tak ada wewangian, bau badan tercium apa adanya tanpa manipulasi. Ketika
yang dikenakan hanyalah dua lembar kain putih, maka perasaan tidak memiliki
kemampuan, tidak memiliki kedudukan dan jabatan, tidak memiliki tempat
bergantung, akan lebih mudah tumbuh dalam hati. Ritual seperti itu yang
dihayati mendalam dengan sendirinya sudah menumbuhkan sikap antikorupsi
dalam berbagai bentuk.
Bahwa akhirnya, hanya Allah yang memiliki segalanya, dan karenanya betapa
seseorang yang hanya mengenakan pakaian ihram sangat membutuhkan pertolongan
Allah. Keserakahan yang menjadi pendorong utama tindakan korupsi, hilang
dengan sendirinya. Perasaan seperti itu kemudian dengan mudah direfleksikan
dalam sikap selalu membesarkan dan mengagungkan Allah. Pembuktian sikap
melalui ketaatan pada perintah Allah dan menghindari perbuatan munkar yang
dilarang Allah.
Meraih Predikat Saleh
Sayangnya, diakui atau tidak, orang yang telah menjalani ritual
antikorupsi belum terjamin perilakunya di kemudian hari terbebas dari perilaku
koruptif. Haji sering dijadikan simbol kesempurnaan seseorang menjadi muslim,
menempati status sosial terhormat, dan dikonotasikan berada pada tingkat
kesalehan yang lebih. Namun dengan kian banyaknya fakta orang-orang yang
sudah naik haji tapi kok belakangan diketahui terlibat kasus korupsi atau
memperlihatkan perilaku yang tidak terpuji, penilaian pun berubah menjadi
ironi.
Ada ungkapan sindiran yang terkesan hanya guyon anak-anak tentang predikat
haji. Misalnya jipat turi akronim dari
kaji mlumpat kethune keri.
Ungkapan asosiatif dalam bahasa Jawa seperti itu bisa berarti seorang yang
sudah naik haji tiba-tiba meloncat ke jalur tingkah laku lain dengan menanggalkan
kesucian hati dan pikiran yang disimbolkan
kethu atau kopiah putih.
Atau, dalam ungkapan yang mengandung sarkasme,
pak kaji nyolong dhendheng
yang berkonotasi ada perilaku seorang haji yang mencuri hal-hal berbau
busuk seperti daging yang sudah dikeringkan menjadi
dhendheng.
Pada sebagian masyarakat tertanam pemahaman, ciri haji yang mabrur jika
sepulang naik haji perilakunya terlihat saleh, rajin beribadah, lebih dermawan,
dan berbagai sikap baik lain.
Predikat saleh harus diraih dan dijaga oleh orang yang sudah berhaji.
Jika yang diperlihatkan perilaku sebaliknya, kemabrurannya diragukan. Apalagi
dengan banyaknya tersangka korupsi justru dari mereka yang berpredikat
haji. Masalahnya ada pada jemaah haji, apakah banyak hal dalam prosesi
ritual ibadah haji dikerjakan secara tidak jujur. Itu yang akan menjadi
benih manipulasi dan korupsi yang terefleksi pada perilaku keseharian sepulang
berhaji.
Memang, kemabruran haji tidak ditentukan oleh penilaian masyarakat atau
orang lain. Kemampuan berikhtiar untuk dapat maksimal mengikuti manasik
haji secara baik akan menuntun ke arah haji mabrur. Karena itulah introspeksi
diri bagi orang yang akan dan sudah melaksanakan ibadah haji menjadi kekuatan
besar untuk menghindar dari perbuatan-perbuatan "korupsi" dalam
berbagai segi dan bentuknya karena kejujuran hati menjadi kunci terhindar
dari tindakan manipulasi. Semoga Allah SWT memberikan ijabah atas doa dari
hati suci orang-orang yang berhaji. (11)
--- Kholid Anwar, penulis buku Haji Tanpa Korupsi
,
aktivis kemasyarakatan